Ngobrolin Selilit

Waktu aku masih di bangku SMP, ada sebuah perpustakaan yang dibuka di sudut kecamatan, dekat dengan sekolah. Jalan kaki sedikit sudah sampai di lokasi. Koleksi bukunya cukup bervariasi, dari buku sejarah, novel, agama, dan lain sebagainya. Sepulang sekolah adalah pilihan waktu yang tepat untuk mampir bersama teman-teman, masih dengan seragam yang melekat dan khas anak sekolah-bau matahari. Bangunan tua khas belanda itu berhawa sejuk, nyaman untuk membaca buku lembar demi lembar. 


Pernah suatu saat ada satu buku yang mengambil perhatianku karena judulnya yang menarik. Buku bercover hitam itu bertuliskan "Slilit sang Kyai". Hmmm, kok bisa selilit diceritakan, bahkan sampai jadi judul buku? Maka rasa penasaran mendorongku untuk tenggelam dalam cerita buku itu, dan aku tidak menyesalinya, justru sangat bersyukur sampai sekarang karena bisa membaca cerita yang sangat bagus. Ceritanya cukup sederhana, tapi nilai yang bisa diambil amatlah mulia. Entah berapa teman yang sudah aku ceritakan ulang tentang ini, meskipun aku hanya menyampaikan garis besarnya saja. Jadi, aku juga mau sedikit bercerita kepada kalian, pembaca blog ini. 


Oh iya sebelumnya aku mau sampaikan pengertian menurut KBBI, selilit adalah sisa makanan (daging dan sebagainya) yang menyelip di sela-sela gigi. 

Disclaimer: ini berdasarkan ingatanku yg usianya sudah bertahun-tahun (maklum bacanya waktu SMP), jadi mungkin tidak 100% tepat. Aku sangat merekomendasikan kalau kalian mau langsung baca sendiri ceritanya secara lengkap! Ini buku kumpulan cerpen, jadi bukan cuma ada satu kisah ini saja. 


Di suatu daerah, ada seorang ahli agama alias seorang kyai yang amat sholeh. Beliau rajin ibadah, berilmu, dan memiliki akhlak dan perilaku yang baik. Pada suatu ketika, sang Kyai ini diundang dalam sebuah kenduri/acara, beliau disuguhi makanan disana. Ketika dalam perjalanan pulang, sang Kyai merasakan bahwa ada selilit yang menyelip di giginya. Karena dirasa tidak nyaman, sang Kyai ini pun mengambil secuil bambu dari pagar tetangganya untuk mencongkel selilit itu. Selilit berhasil diambil, dan sang Kyai pun melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah. 


Fast forward, pada suatu ketika sang Kyai ini sudah berpulang ke rahmatullaah. Beliau dikenal sebagai orang yang taat, tokoh masyarakat, yang baik perangainya. Namun pada suatu ketika, sang Kyai ini muncul dalam mimpi seseorang (aku agak lupa apakah ini anaknya, santrinya atau tetangganya, CMIIW). Namun, beliau terlihat dalam kondisi yang tidak baik. Di dalam mimpi itu, sang Kyai memohon untuk dimintakan maaf dan izin kepada tetangganya karena sudah mengambil sedikit bambu dari pagar rumahnya tanpa izin. Ternyata, secuil bambu itu yang menghambatnya masuk ke surga, meskipun amalannya yang lain juga teramat sangat banyaknya. Sang Kyai telah mengambil milik orang lain, dan tetangga tersebut tidak tahu, tidak ridho terhadap hal itu. 


Terbangun dari mimpinya, orang tadi mendatangi sang tetangga dan memintakan maaf atas sang Kyai, karena pernah mengambil bambu dari pagarnya. Tetangga pun memaafkan perbuatan sang Kyai tersebut. Beberapa hari berselang, sang Kyai kembali muncul dalam mimpinya. Kali ini, terlihat kondisi beliau yang sudah baik. Sang Kyai tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Kini nampaknya sudah tidak ada penghambat untuk sang Kyai kembali ke sisi-Nya. Selesai. 


Ceritanya sederhana, bukan? Tapi isinya cukup menyentil hati. Cerita ini menjadi pengingat kita bahwa perbuatan sekecil apa pun, akan ada balasannya kelak. Mau itu kebaikan ataupun keburukan, akan ada balasan yg seadil-adilnya. Jangan mengambil apa yang bukan hak kita, jangan mengambil hak orang lain.


"Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah: 7-8).


Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat yaa, aamiin.. 

Ditulis pada suatu hari Ahad yang tenang (untuk membereskan rumah), Januari 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membuat Surat Keterangan Kesehatan, Buta Warna, dan Bebas NAPZA di RSUD Banyumas

Bermuara

Obrolan empat di lima